Tujuan dan Sarana

Bismillah.

Diantara keindahan al-Qur’an adalah ia memberikan petunjuk kepada kebenaran dengan penjelasan yang sangat lengkap dan gamblang.

Salah satunya adalah apa yang selalu dibaca oleh umat Islam di dalam sholatnya dari surat al-Fatihah; sebuah kalimat yang mengandung aqidah dan penghambaan kepada Allah. Yaitu kalimat yang berbunyi ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.”

Di dalam kalimat ini tercakup antara tujuan yang dicari dan sarana untuk meraih tujuan itu. Tujuan pokok adalah beribadah kepada Allah atau mentauhidkan-Nya. Adapun sarana untuk mewujudkan tujuan itu adalah dengan memohon pertolongan kepada-Nya; yang hal itu pun pada hakikatnya adalah bagian dari ibadah kepada Allah.

Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul untuk mengajak manusia menghamba kepada Allah dan menjauhi syirik. Inilah tujuan pokok agama dan misi kehidupan insan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Ibadah kepada Allah memiliki cakupan yang sangat luas. Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa ibadah adalah nama yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan dan perbuatan; yang lahir dan batin. Diantara bentuk ibadah yang paling agung adalah berdoa. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian mengatakan; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permintaan kalian…” (Ghafir : 60)

Memohon pertolongan Allah adalah bagian dari doa; yang biasa disebut oleh para ulama dengan istilah do’a mas’alah; yaitu doa berisi permohonan. Karena di sana ada jenis doa yang lain yang disebut do’a ibadah; yaitu segala macam ibadah selain yang berupa permintaan. Doa ibadah itu mencakup ibadah selain doa, seperti puasa, zakat, karena semua ibadah itu secara tersirat mengandung permohonan kepada Allah supaya diterima amalnya.

Untuk mewujudkan ibadah kepada Allah, seorang hamba tidak bisa bergantung kepada dirinya sendiri dan kemampuan yang dia miliki. Sebab alam semesta ini milik Allah dan Allah pula yang mengatur berjalannya segala sesuatu apakah itu bisa berjalan atau tidak, sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya. Oleh sebab itu manusia harus memohon bantuan kepada Rabbnya. Sebagai bukti penghambaan dirinya kepada Allah. Tanpa memohon pertolongan kepada Allah maka dia akan termasuk kelompok orang-orang yang sombong dan kufur kepada Rabbnya. Dan tanpa bantuan dari Allah dia tidak akan bisa melakukan apa-apa; apakah itu mengerjakan kebaikan atau meninggalkan keburukan.

Di dalam kalimat ‘hanya kepada-Mu kami beribadah’ itu terkandung kewajiban untuk mengesakan Allah dalam beramal atau yang kita kenal dengan istilah tauhid uluhiyah. Adapun di dalam isti’anah/meminta pertolongan kepada Allah terkandung penetapan tauhid rububiyah; keyakinan bahwa Allah penguasa dan pengatur alam. Oleh sebab itu kebanyakan doa ibadah dikaitkan dengan nama ‘Allah’ sementara doa permintaan dikaitkan dengan nama ‘Rabb’. 

Tauhid uluhiyah melazimkan kita untuk meninggalkan syirik dan riya’, sedangkan tauhid rububiyah melazimkan kita untuk mencampakkan kesombongan dan sifat ujub. Kedua macam tauhid ini telah terpadu dalam perintah Allah (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Karena hanya Allah yang menciptakan dan mengatur alam maka hanya Allah pula yang pantas untuk mendapatkan peribadatan dari manusia.

Dengan bahasa lain, kita bisa mengatakan bahwa tauhid rububiyah adalah sarana untuk mewujudkan tauhid uluhiyah. Maka orang yang hanya menetapkan tauhid rububiyah tanpa mewujudkan pemurnian ibadah kepada Allah adalah orang yang berhenti di tengah jalan; hanya mengenai sarana dan belum mencapai tujuan yang dimaksud oleh Rabb penguasa langit dan bumi. Dari sana maka para rasul tidak berhenti mengajak umatnya untuk mengokohkan iman kepada rububiyah Allah tetapi mereka lebih dalam lagi menuntut manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya; apapun bentuknya. Dan inilah kandungan pokok dari kalimat syahadat laa ilaha illallah; bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah.

Tauhid rububiyah adalah perkara yang sudah tertanam di dalam fitrah manusia, bahkan orang musyrik pun sudah mengakuinya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan mereka. Mereka akan menjawab Allah, maka dari arah mana mereka bisa ditipu.” (az-Zukhruf : 87)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka; Siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’.” (al-’Ankabut : 61)

Maka tidaklah dikatakan muslim orang yang hanya meyakini tauhid rububiyah. Muslim adalah orang yang mengakui bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan dia pun menujukan ibadahnya kepada Allah serta menolak syirik dan membencinya. 

Ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari)

Hal ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan kewajiban yang terbesar dan perkara paling mendasar. Tidak akan diterima amalan sebesar apapun tanpa tauhid. Oleh sebab itu setiap rasul mengajak kepada kaumnya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Tidak sah iman kepada Allah tanpa mengingkari sesembahan selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan simpul tali yang paling kuat…” (al-Baqarah : 256)

Ibadah kepada Allah merupakan kombinasi dari puncak kecintaan dengan puncak perendahan diri. Seorang yang beribadah kepada Allah artinya dia menundukkan dirinya kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dengan disertai kecintaan dan pengagungan. Ia berporos pada cinta, takut, dan harapan.

Kalimat laa ilaha illallah menuntut seorang muslim untuk menolak penghambaan kepada selain Allah. Oleh sebab itu setiap perintah beribadah kepada Allah pasti terkandung di dalamnya larangan berbuat syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisa’ : 36)

Tauhid inilah pokok keimanan. Dengan demikian iman merupakan tujuan tertinggi dan cita-cita termulia yang hendaknya diraih oleh setiap hamba. Hidup tanpa iman seperti badan tanpa nyawa. Hidup tanpa tauhid seperti bangkai. Hidup tanpa aqidah seperti bangunan tanpa pondasi. Hidup tanpa dzikir dan ibadah seperti ikan tanpa air yang meliputinya. Hidup tanpa keikhlasan seperti malam gelap gulita tanpa sedikit pun cahaya.

Karena itulah para ulama salaf menjadikan kenikmatan hidupnya dalam beribadah kepada Allah. Imam Ahmad pernah ditanya, “Kapankah seorang hamba bisa merasakan nikmatnya istirahat?” beliau menjawab, “Apabila dia sudah meletakkan telapak kakinya di surga.”

Mereka itulah orang-orang yang hidup hatinya. Hatinya terbebas dari belenggu thaghut dan pemujaan kepada berhala. Hatinya tunduk patuh mengabdi sepenuhnya kepada Rabb penguasa langit dan bumi dengan segala isinya. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk menghamba kepada Allah dengan murni dan terbebas dari syirik kepada-Nya.

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa iman yang dituntut dalam Islam bukan semata-mata penampilan ataupun keyakinan. Akan tetapi iman yang berakar dari hati dan melahirkan ketaatan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Mengesakan Allah dalam hal ibadah, itulah tujuan penciptaan, bukan semata-mata mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Benar, Allah satu-satunya pencipta dan pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan. Akan tetapi keyakinan itu belum cukup sampai seorang hamba menujukan ibadahnya kepada Allah semata dan meninggalkan selain-Nya. Oleh sebab itu para ulama menyatakan, ibadah tidaklah dikatakan ibadah tanpa tauhid. Sebagaimana sholat tidak dinamakan sholat tanpa thaharah/bersuci. Apabila syirik mencampuri ibadah maka ia menjadi rusak, sebagaimana hadats yang menimpa pada thaharah.

Allah tidak ridha apabila diri-Nya dipersekutukan dalam beribadah kepada-Nya, apakah itu dengan malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun seorang nabi utusan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/beribadah bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18)

Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Yang Allah terima adalah yang ikhlas untuk-Nya. Adapun banyaknya amalan tanpa tauhid dan keikhlasan maka itu sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalan yang pernah mereka lakukan.” (al-An’am : 88)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia namun mereka menyangka telah melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah menjelaskan bahwa amal itu apabila ikhlas tetapi tidak sesuai sunnah/tuntunan maka tidak akan diterima, demikian pula meskipun ia sesuai sunnah tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima. Amal hanya akan diterima jika ikhlas dan sesuai sunnah. Inilah maksud dari firman Allah (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yan terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Para ulama juga mengatakan bahwa amal-amal itu menjadi berbeda-beda tingkatan dan keutamaannya tergantung pada apa-apa yang ada di dalam hati pelakunya; berupa iman dan keikhlasan. Betapa sering amalan kecil menjadi besar karena niatnya, sebaliknya tidak jarang amalan besar menjadi kecil juga karena niatnya. Oleh sebab itu tidak boleh meremehkan amalan, sebagaimana tidak boleh meremehkan dosa dan kemaksiatan.

Sehingga yang menjadi target bukanlah amal itu sendiri, tetapi bagaimana bisa menjaga amalan dari hal-hal yang bisa merusak dan mengotorinya. Betapa banyak amalan lenyap gara-gara riya’ dan ujub. Betapa banyak amalan sia-sia gara-gara hati yang tidak tulus menghamba kepada Allah. Betapa banyak amalan yang rusak karena terkotori oleh dosa.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosanya seolah-olah dia duduk di bawah sebuah gunung; dia khawatir gunung itu akan jatuh menimpanya…”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Orang mukmin menggabungkan antara berbuat ihsan/kebaikan dalam beramal dengan rasa takut/khawatir. Adapun orang kafir menggabungkan antara berbuat buruk/dosa dengan merasa aman.”

Semoga Allah tambahkan kepada kita ilmu dan ketakwaan. Wallahul musta’aan.

Referensi :

Ikramul Muwahhidin, Syaikh Abdullah bin Shalih al-’Ubailan

Majmu’ Rasa’il Da’awiyah, Syaikh Shalih al-Fauzan

al-Qawa’id al-Arba’, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

al-Wabil ash-Shayyib, Imam Ibnul Qayyim

Jami’ al-’Ulum wal Hikam, Imam Ibnu Rajab

Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Imam Ibnu Katsir

al-’Ubudiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

al-Jami’ ash-Shahih, Imam al-Bukhari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *