Rasa Malu

Bismillah.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان

“Iman terdiri dari enam puluh lebih cabang; dan rasa malu merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari no. 9)

Rasa malu adalah amalan hati yang memiliki pengaruh terhadap perbuatan anggota badan. Rasa malu yang termasuk dalam bagian iman adalah yang menghalangi pemiliknya dari berbagai hal yang tercela dalam agama. Sehingga rasa malu akan mendorong seorang muslim untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan.

Adapun rasa malu yang justru menghalangi dari kewajiban atau amal ketaatan adalah sifat yang tidak terpuji. Sebagaimana orang yang tidak mau belajar atau menimba ilmu dengan alasan malu. Orang yang meninggalkan sholat berjamaah di masjid dengan dalil malu, padahal dia lelaki muslim.

Malu adalah akhlak yang mulia. Ka’ab bin Malik selamat dari kedustaan karena malu. Utsman bin Affan sosok yang para malaikat pun malu kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu diantara ajaran kenabian yang paling pertama dimengerti oleh manusia ialah; Apabila kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)

Hadits yang agung ini berisi penjelasan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah. Dan rasa malu kepada Allah itu terwujud dengan tidak melawan-Nya dalam bentuk maksiat-maksiat dan tidak meremehkan ketaatan (lihat al-Haya’ minallah oleh Syaikh Shalih as-Suhaimi, hal. 2)

Inilah hakikat rasa malu kepada Allah. Rasa malu yang sebenarnya dan paling utama ialah anda malu kepada Allah; dan hal itu dibuktikan dengan cara melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan dan menjauhi segala hal yang Allah larang. Anda senantiasa merasa diawasi oleh Allah baik pada saat senang maupun susah. Pada saat bersemangat maupun ketika lemah semangat. Ketika anda mengalami kesulitan maupun ketika anda mendapatkan kemudahan. Inilah hakikat rasa malu kepada Allah (lihat al-Haya’ minallah, hal. 2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *