Puasa Wanita Hamil dan Menyusui

Bismillah.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Wanita hamil apabila khawatir terhadap kondisinya di bulan Ramadhan hendaknya berbuka (tidak puasa) dan memberikan makan (fidyah) serta tidak ada qadha’ atasnya.” (HR. Abdurrazzaq, dinyatakan sahih oleh Zakariya Ghulam al-Bakistani dalam Maa Shahha min Atsar ash-Shahabah fil Fiqh, hal. 688)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa ada seorang perempuan bertanya kepadanya sementara dia dalam keadaan hamil, maka beliau mengatakan, “Berbukalah, dan berikan makan untuk setiap hari yang kamu tinggalkan kepada satu orang miskin. Dan kamu tidak perlu meng-qadha’.” (HR. Daruquthni dan disahihkan Zakariya al-Bakistani)

Dari Sa’id bin Jubair bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata kepada seorang budak perempuannya (ummu walad) yang sedang hamil atau menyusui, “Kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak mampu berpuasa. Wajib bagimu membayar fidyah dan bukan meng-qadha’.” (HR. Daruquthni dan beliau mengatakan sanadnya sahih)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’ahuma pula, beliau berkata, “Apabila wanita hamil khawatir terhadap keadaan dirinya atau ibu menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, hendaklah mereka berbuka/tidak puasa dan memberi makan satu orang miskin sebagi ganti setiap hari yang ditinggalkan, dan mereka tidak perlu mengqadha’ puasa.” (HR. Ibnu Jarir ath-Thabari dan dinyatakan sahih sanadnya oleh al-Albani dalam al-Irwa’, 4/19)

Dari Ikrimah, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan ayat (yang artinya), “Orang-orang yang mampu mengerjakannya -lalu tidak puasa- hendaklah dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin.” hukum ini tetap diberlakukan bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani, lihat Sahih Abu Dawud, 2/48)

Keterangan :

Dalam masalah wanita hamil dan menyusui ada beberapa pendapat ulama :

Pertama : Wanita hamil dan menyusui apabila mengkhawatirkan keadaan dirinya atau bayinya boleh berbuka/tidak puasa lalu mereka harus meng-qadha’/mengganti puasa di waktu lain tanpa membayar fidyah. Sehingga padanya berlaku hukum seperti orang yang sakit.

Kedua : Mereka cukup membayar fidyah -dengan memberi makan orang miskin- dan tidak perlu meng-qadha’ puasa.

Ketiga : Ada perincian dalam hal ini; apabila mereka mengkhawatirkan dirinya sendiri dan tidak khawatir atas bayinya boleh tidak puasa dan meng-qadha’ dan tidak membayar fidyah karena keadaannya seperti orang yang sakit, namun apabila dia khawatir terhadap bayi atau janinnya saja atau keadaan ibu dan anaknya sekaligus boleh tidak puasa dan harus membayar fidyah dengan tetap meng-qadha’ puasa.

Keterangan ulama seputar hal ini silahkan lihat dalam :

Min-hatul Malik al-Jalil oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, 8/314-315

Tafsir Ayat ash-Shiyam oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, hal. 18

Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad, 5/326

Hallul ‘Uqdah fi Syarh al-‘Umdah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, 1/417

al-Mulakhosh al-Fiqhi oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, 1/391-392

It-haf Ahlil Iman oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 44-45

Ib-hajul Mu’minin bi Syarhi Manhajis Salikin oleh Syaikh Abdullah al-Jibrin, 1/361

al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an oleh Imam al-Qurthubi, 3/147

al-Fatawa wa ad-Durus fil Masjidil Haram oleh Syaikh Abdullah bin Humaid, hal. 494-496

Pendapat yang mewajibkan fidyah saja tanpa mengqadha’ -sebagaimana disampaikan oleh Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas- dianggap lemah oleh sebagian ulama dengan alasan bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dari musafir separuh sholat, dan juga dari musafir dan wanita hamil atau menyusui untuk berpuasa [pada waktunya, pent].” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Nasa’i, Abu Dawud dan disahihkan al-Albani dari Anas bin Malik al-Ka’bi radhiyallahu’anhu).

Para ulama yang melemahkan pendapat tersebut menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan wanita hamil atau menyusui boleh tidak puasa ketika khawatir terhadap kondisi dirinya atau bayinya dan mengqadha’ puasanya tanpa membayar fidyah seperti musafir apabila dia tidak puasa. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini -wajibnya qadha’ saja- adalah Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i, al-Auza’i, ats-Tsauri, Atha’, az-Zuhri, begitu pula Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ibnul Mundzir, al-Mubarakfuri, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Lajnah Da’imah, Syaikh Sa’id al-Qahthani, Syaikh Wahid Abdussalam Bali, dan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi. Syaikh Bin Baz menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan wajibnya fidyah bagi wanita hamil atau menyusui tanpa mengqadha’ adalah pendapat yang lemah dan marjuh/tidak kuat. Pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang mewajibkan fidyah saja dikatakan marjuh disebabkan bertentangan dengan dalil-dalil syari’at. Keadaan wanita hamil atau menyusui itu serupa dengan keadaan orang yang sakit yaitu harus mengqadha’, tidak bisa disamakan dengan orang tua yang sudah lemah/tidak mampu puasa (lihat ash-Shiyam fil Islam karya Syaikh Sa’id al-Qahthani, hal. 157-161, Syarh Bidayatul Mutafaqqih karya Syaikh Ibrahim bin Fat-hi, 1/337-338, al-Isyraf ‘ala Madzahib al-‘Ulama’ karya Imam Ibnul Mundzir, 3/151-152, Min-hatul Malik al-Jalil karya Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, 8/314-315, Majmu’ Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal. 39 dan 43)

Faidah : Para ulama menjelaskan bahwasanya pendapat sahabat Nabi merupakah hujjah/argumen selama tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Apabila pendapat itu diselisihi oleh sahabat yang lain wajib untuk ditarjih/dipilih yang lebih kuat berdasarkan dalil. Selain itu, pendapat sahabat bisa dijadikan hujjah apabila tidak bertentangan dengan dalil al-Qur’an atau as-Sunnah. Apabila pendapatnya bertentangan dengan al-Qur’an atau as-Sunnah pendapat itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, meskipun demikian kita tetap memberikan udzur baginya. Begitu pula misalnya apabila salah seorang sahabat pendapatnya menyelisihi pendapat salah satu diantara keempat khalifah setelah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam -yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali- hendaknya kita lebih memilih pendapat para khalifah itu (lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Manzhumah Ushul Fiqh, hal. 203 dan keterangan Syaikh Muhammad al-Jizani hafizhahullah dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 216-218)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah memberikan keterangan bahwa pendapat sahabat secara mutlak -siapa pun sahabat itu- bukanlah hujjah tetapi yang bisa dijadikan sebagai hujjah adalah pendapat khulafa’ur rasyidin dan para ahli fikih diantara para sahabat dengan dua syarat; tidak bertentangan dengan nash/dalil dan tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Apabila pendapat itu bertentangan dengan nash maka nash yang didahulukan. Dan apabila bertentangan dengan pendapat sahabat lain maka diambil yang rajih/lebih kuat (lihat Syarh Mukhtashar at-Tahrir, hal. 536)

Dengan demikian perlu kiranya kita melihat pendapat para khulafa’ur rasyidin dalam masalah ini. Imam Abu Bakr al-Jashshash rahimahullah (wafat 370 H) menyebutkan di dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an (1/224) bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu memilih pendapat bahwa wanita hamil dan menyusui apabila tidak berpuasa hendaknya mengqadha’ dan tidak perlu membayar fidyah. Perlu diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu -selain termasuk khulafa’ur rasyidin- juga termasuk jajaran ahli tafsir dan bahkan disebutkan oleh al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama -dalam hal ilmu tafsir- di atas Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhum ajma’in (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 1/60)

Pendapat yang kita bahas di sini adalah perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma terhadap ayat (yang artinya), “Dan bagi orang-orang yang mampu mengerjakannya -lalu tidak puasa-…” Ibnu ‘Abbas berkata, “Barangsiapa yang tidak kuat berpuasa kecuali dengan sangat berat boleh baginya untuk berbuka/tidak puasa dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin, demikian juga bagi wanita hamil dan menyusui, kakek/nenek yang sudah tua renta, dan orang yang menderita sakit [berat] yang permanen.” (lihat ad-Durr al-Mantsur oleh as-Suyuthi, 2/184)

Dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang mengatakan bahwa ayat (yang artinya), “Orang-orang yang mampu mengerjakannya -lalu tidak puasa- hendaklah dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin.” hukumnya tetap diberlakukan bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani, lihat Sahih Abu Dawud, 2/48)

Apabila dicermati di dalam riwayat ini Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan bahwa ayat tersebut ‘tetap diberlakukan’ -dalam bentuk kalimat pasif- yang mengesankan bahwa penetapan hukum ini bukan murni pendapat beliau. Dengan kata lain ada kemungkinan bahwa hukum ini bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ungkapan semacam ini memiliki celah untuk dimasukkan ke dalam kategori pendapat sahabat yang dihukumi marfu’/seperti kedudukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga bisa dijadikan sebagai hujjah/dalil sebagaimana ditetapkan dalam ilmu hadits. Namun apabila tidak terbukti bahwa hukum ini marfu’ para ulama bersepakat bahwasanya pendapat sahabat dalam perkara-perkara ijtihadiyah tidak bisa menjadi hujjah yang bisa menggugurkan pendapat sahabat yang lain (lihat keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh al-Waraqat, hal. 164)

Apabila kita cermati kembali sesungguhnya pendapat sahabat yang dihukumi marfu’ adalah pendapat mereka dalam perkara-perkara yang tidak membuka ruang bagi logika untuk berijtihad di dalamnya dan bukan termasuk penafsiran. Seperti misalnya perkataan mereka mengenai keadaan surga, hari kiamat, tanda-tanda kiamat dan semacamnya dan bukan bersumber dari isra’iliyat maka yang semacam ini dihukumi marfu’. Adapun masalah fikih masih membuka ruang ijtihad, wallahu a’lam (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah oleh Syaikh Muhammad al-Jizani, hal. 216, Syarh al-Ushul min Ilmi al-Ushul oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri, hal. 235 dan Taisir Mushtholah al-Hadits oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 63)

Para ulama yang menguatkan pendapat qadha’ saja berdalil dengan hadits yang sudah disebutkan di atas yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dari musafir separuh sholat, dan juga dari musafir dan wanita hamil atau menyusui untuk berpuasa [pada waktunya, pent].” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Nasa’i, Abu Dawud dan disahihkan al-Albani)

Di dalam salah satu riwayat Nasa’i, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dari musafir separuh dari sholat -artinya boleh diqashar, pent- dan juga puasa -artinya boleh berbuka dan diganti di hari lain, pent- dan Allah juga memberikan rukhshah/keringanan bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i dan dinyatakan hasan oleh al-Albani, lihat Sahih Sunan Nasa’i, 2/136)

Hadits di atas menunjukkan bahwa musafir diberi keringanan/rukhshah untuk meng-qashar sholat dan tidak berpuasa. Konsekuensinya apabila dia tidak berpuasa Ramadhan ketika bersafar maka dia harus meng-qadha’nya di hari-hari lain di luar bulan Ramadhan tanpa harus membayar fidyah, sebagaimana sudah dimaklumi.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa wanita hamil dan menyusui diberi keringanan di dalam syari’at ini untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan -apabila khawatir akan kondisi dirinya atau janin dan bayinya, sebagaimana diterangkan oleh para ulama-. Sebagai konsekuensinya mereka harus mengganti puasa di luar bulan Ramadhan karena kondisinya serupa dengan orang yang sakit dan juga tidak ada kewajiban bagi mereka untuk membayar fidyah.

Syaikh Sa’id al-Qahthani rahimahullah berkata, “Hadits yang sahih ini menunjukkan bahwa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir dalam hal hukum puasa, yaitu mereka boleh tidak puasa dan harus mengganti/meng-qadha’.” (lihat ash-Shiyam fil Islam, hal. 161)

Pendapat yang mewajibkan qadha’ saja untuk wanita hamil dan menyusui bahkan didukung oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma dalam sebuah riwayat dari beliau. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa di bulan Ramadhan dan mereka harus mengqadha’ puasanya. Mereka tidak perlu memberi makan/membayar fidyah.” (HR. Abdurrazzaq dan disahihkan Zakariya al-Bakistani dalam Maa Shahha min Atsar ash-Shahabah, hal. 689)

Dengan demikian pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu ‘Abbas walaupun tidak masyhur dari beliau… Riwayat yang sahih ini juga menunjukkan kepada kita bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma bahwa wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah saja tidak bisa dihukumi marfu’/seperti kedudukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia masih tercakup dalam kategori masalah ijtihadiyah.

Oleh sebab itu tidak heran apabila Ibnu ‘Abbas sendiri yang menyatakan bahwa hukum fidyah itu -yang dahulu diberlakukan di masa awal Islam dan ketika itu kaum muslimin diberi pilihan antara puasa atau membayar fidyah, pen- masih diberlakukan bagi wanita hamil dan menyusui (tidak dihapus hukumnya) juga berpendapat -atau merubah pendapatnya- bahwa wanita hamil dan menyusui harus meng-qadha’ dan tidak perlu membayar fidyah. Hal ini menjadi indikasi yang sangat kuat bahwa pendapat beliau ini bukan penafsiran yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan merupakan hasil ijtihad beliau pribadi –radhiyallahu’anhu-.

Hal ini bisa kita lihat dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas dalam Sunan Abu Dawud dan sanadnya dinyatakan sahih oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad mengenai maksud ayat (yang artinya), “Dan bagi orang-orang yang mampu menjalankan puasa -lalu tidak puasa- hendaklah membayar fidyah untuk memberi makan orang miskin.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Ini adalah keringanan/rukhshah bagi kakek-kakek dan nenek-nenek yang mampu berpuasa -tetapi berat- untuk tidak puasa dan sebagai gantinya harus memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Demikian pula berlaku bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir.” Abu Dawud menjelaskan, “Maksudnya khawatir akan kondisi anak/janinnya maka boleh bagi mereka untuk berbuka dan memberi makan/membayar fidyah.” (lihat Syarh Kitab Adab al-Masy-yi ila ash-Sholah, dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 5/326)

Perkataan beliau “..Demikian pula berlaku bagi wanita hamil dan menyusui dst…” kemungkinan besar adalah hasil ijtihad beliau. Sebab seandainya hal itu memang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin beliau berani menentang ketetapan itu dengan memfatwakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup meng-qadha’ dan tidak perlu membayar fidyah, kecuali apabila fatwa ini datang sebelumnya; artinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum mengeluarkan ketetapan itu atau kemungkinan berikutnya adalah ketika itu Ibnu ‘Abbas belum mengetahuinya kemudian setelah itu beliau baru mengetahuinya -dan ini butuh kepada dalil untuk membuktikannya, dan sebatas pengetahuan kami tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah, seandainya dalil itu ada dan sahih niscaya perselisihan ini sudah terselesaikan dengan sendirinya-. Ini memberikan indikasi kuat kepada kita bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma dalam pendapatnya yang masyhur telah meng-qiyaskan antara keadaan wanita hamil dan menyusui dengan keadaan kakek-kakek dan nenek-nenek yang berat menjalankan puasa.

Rukhshah/keringanan bagi kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah tua renta yang berat untuk berpuasa -walaupun masih mampu- telah ditetapkan dalam hadits yang sahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, “Telah diberikan keringanan untuk kakek yang sudah tua renta untuk tidak berpuasa dan memberi makan satu orang miskin sebagai ganti setiap hari yang ditinggalkan, dan tidak ada kewajiban qadha’ atasnya.” (HR. Daruquthni dengan sanad sahih) (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an oleh al-Qurthubi rahimahullah, 3/147)

Sehingga letak permasalahannya adalah apakah wanita hamil dan menyusui bisa diqiyaskan dengan kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah tua renta dan berat berpuasa? Hadits dari Anas bin Malik al-Ka’bi radhiyallahu’anhu di atas kiranya telah menjawab pertanyaan ini dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menggugurkan dari musafir separuh dari sholat -artinya boleh diqashar, pent- dan juga puasa -artinya boleh berbuka dan diganti di hari lain, pent- dan Allah juga memberikan rukhshah/keringanan bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i dan dinyatakan hasan oleh al-Albani, lihat Sahih Sunan Nasa’i, 2/136)

Hadits ini menunjukkan bahwa keadaan wanita hamil dan menyusui dalam hal rukhshah/keringanan untuk tidak berpuasa adalah sama dengan keadaan orang yang sakit dan bersafar. Orang yang bersafar boleh tidak puasa dan harus mengganti di hari lainnya. Begitu pula orang yang sakit boleh tidak puasa dan harus mengganti di hari yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa wanita hamil dan menyusui lebih tepat diqiyaskan dengan orang yang sakit.

Keadaan yang bisa diqiyaskan dengan kakek-kakek dan nenek-nenek yang tua renta itu adalah orang yang menderita sakit berat dan sulit untuk diharapkan kesembuhannya. Oleh sebab itu Ibnu ‘Abbas berkata, “Barangsiapa yang tidak kuat berpuasa kecuali dengan sangat berat boleh baginya untuk berbuka/tidak puasa dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin, demikian juga bagi wanita hamil dan menyusui, kakek/nenek yang sudah tua renta, dan orang yang menderita sakit [berat] yang permanen.” (lihat ad-Durr al-Mantsur oleh as-Suyuthi, 2/184)

Adapun pembahasan mengenai wanita hamil dan menyusui -yang disinggung dalam riwayat Ibnu ‘Abbas baru saja- sudah kita paparkan bahwa pendapat yang rajih/lebih kuat -berdasarkan hadits Anas bin Malik al-Ka’bi di atas- adalah mereka boleh tidak puasa -ketika mendapati kesusahan atau khawatir terhadap kondisi diri atau bayinya- dengan konsekuensi meng-qadha’ pada hari-hari lainnya di luar bulan Ramadhan. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (lihat Majmu’ Tafsir Ayat minal Qur’an, hal. 39) dan dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 57)

Bahkan inilah pendapat Ibnu ‘Abbas yang lebih tepat. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa di bulan Ramadhan dan mereka harus mengqadha’ puasanya. Mereka tidak perlu memberi makan/membayar fidyah.” (HR. Abdurrazzaq dan disahihkan Zakariya al-Bakistani dalam Maa Shahha min Atsar ash-Shahabah, hal. 689). Seolah-olah perkataan Ibnu ‘Abbas ini menjadi koreksi bagi perkataan beliau yang sudah masyhur itu.

Meskipun demikian kita tetap menghargai para ulama dan saudara-saudara kita yang memilih pendapat yang berbeda dengan mengacu kepada tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang mencukupkan diri dengan fidyah bagi wanita hamil atau menyusui, sebab ini adalah perbedaan ijtihadiyah yang semestinya kita berlapang dada di dalamnya.

Wallahu a’lam bish shawaab.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *