Bismillah.
Salah satu perkara yang banyak dilupakan oleh manusia adalah kenikmatan dalam mempelajari ilmu agama Islam. Ilmu agama merupakan bekal seorang muslim dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Bagaimana pun juga seorang muslim tidak bisa lepas dari bimbingan ilmu.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan bahwa, “Barangsiapa menginginkan (kebaikan) akhirat hendaklah dia membekali diri dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan (kebaikan) dunia hendaklah dia juga membekali dirinya dengan ilmu…”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah -salah satu murid Imam Syafi’i- juga mengatakan, “Manusia lebih banyak membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Sebagian ulama kita terdahulu rela menempuh perjalanan jauh selama 1 bulan hanya untuk mencari guru dalam rangka mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal pada masa itu kendaraan dan sarana transportasi tidak senyaman dan secepat yang ada sekarang.
Imam Nawawi rahimahullah sebagaimana dikisahkan dalam sehari bisa menghadiri 12 pelajaran. Imam Bukhari rahimahullah sebagaimana beliau tuturkan sendiri telah menghafal 300 ribu hadits. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah -sebagaimana dituturkan oleh rekannya- menghafal 1 juta hadits.
Mereka adalah sosok manusia yang telah mewakafkan waktu dan umurnya dalam menimba ilmu dan menyebarkannya untuk kebaikan umat manusia. Mereka melakukan hal itu dengan penuh semangat dan kenikmatan. Mereka bukanlah pengejar ketenaran atau jabatan dan kesenangan dunia. Keadaan mereka tidak sebagaimana keadaan banyak penduduk dunia yang terlena…
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari penduduk dunia; yang mereka keluar meninggalkan dunia ini dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik/nikmat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang terbaik di dunia?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla dan mencintai-Nya…”
Diantara sosok pecinta akhirat dan ahli agama yang mengenal Allah adalah para ulama rabbani pembela hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah bagaimana perjuangan penghafal hadits di sepanjang masa. Bagaimana sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dalam waktu yang tidak lama bisa menyerap riwayat-riwayat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengajarkannya kepada para tabi’in setelahnya.
Lihatlah bagaimana para sahabat belia sejak kecil sudah dididik dan dibina dengan hadits dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; oleh nabi secara langsung atau melalui keluarga dan lingkungannya. Mereka lah yang meriwayatkan kepada kita bagaimana tata-cara makan dan minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lah yang meriwayatkan kepada generasi sesudahnya tentang akhlak dan adab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga dan para sahabatnya.
Kemudian para ulama ahli hadits setelahnya dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang melanjutkan estafet perjuangan membela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun tidak berhenti mengajarkan ilmu di masjid atau di majelis ilmu, bahkan mereka pun turun ke medan jihad dan membantu umat dengan harta, pikiran dan tenaganya di jalan Allah… Lihatlah sosok ahli ilmu dan mujahid sekelas Abdullah ibnul Mubarok rahimahullah…
Orang-orang yang disebut oleh Imam Ahmad “Sisa-sisa dari ulama, kaum yang menyeru orang yang tersesat kepada petunjuk, memberikan pencerahan kepada manusia yang buta hatinya dengan cahaya ilmu dari Allah. Mereka menepis dari agama ini penyelewengan orang-orang yang ekstrim, ta’wil/penafsiran yang keliru dari orang-orang yang jahil dan melindungi agama ini dari tipu daya penyeru kebatilan…” (lihat mukadimah Imam Ahmad dalam kitabnya ar-Radd ‘alal Jahmiyah)
Para ulama hadits yang berpegang teguh dengan Sunnah inilah yang menjadi lentera di tengah perjalanan dan pemandu bagi umat manusia. Sebagian salaf berkata, “Para malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan ahlul hadits adalah penjaga-penjaga bumi.”
Begitu nikmatnya perjuangan menimba ilmu bisa kita lihat pada diri dan sejarah para ulama hadits dari masa ke masa. Mereka lah orang-orang terdepan yang melakukan rihlah ilmiyah/perjalanan menimba ilmu ke berbagai negeri. Yang dikenal dengan istilah rihlah fi tholabil hadits; melakukan perjalanan jauh untuk mencari hadits. Bandingkan dengan sebagian kaum yang hidup di masa kini; yang rela menempuh perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk berfoya-foya dan mengejar fatamorgana…. Subhanallah!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menimba ilmu dalam rangka menghidupkan ajaran agama Islam, maka termasuk dalam golongan kaum shiddiqin, sedangkan derajatnya itu adalah setelah derajat kenabian/nubuwwah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para penimba ilmu yang tulus dan ikhlas mengharapkan surga dan kenikmatan memandang wajah Allah di akhirat kelak. Mereka belajar agama untuk mengangkat kebodohan dirinya dan untuk memberikan manfaat bagi manusia yang lain. Mereka tidak ingin manusia hanyut dalam gelombang fitnah dan kerusakan. Mereka ingin manusia berada pada kemuliaan dan kembali kepada fitrahnya.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama -setelah taufik dari Allah, pent- tentunya manusia itu sama persis kelakuannya dengan binatang.” Para ulama yang takut kepada Allah. Mereka yang menyadari bahwa hakikat keilmuan seorang hamba adalah pada ketundukan dan penghambaannya kepada Rabb penguasa langit dan bumi…
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah rasa khosy-yah/takut kepada Allah.” Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama.” (Fathir : 18). Para ulama tafsir pun mengatakan “‘Barangsiapa yang semakin dalam mengenal Allah maka dia akan lebih dalam rasa takutnya kepada Allah…”
Sebagaimana rasa takut mereka yang begitu besar kepada Allah, maka mereka juga menjadi orang yang paling dalam cintanya kepada Allah dan agama Islam. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatNya niscaya dia akan mencintai Allah, dan itu pasti…”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Perjuangan dan jihad para ulama dalam menimba ilmu dan menyebarkannya adalah salah satu tanda dan bukti kesempurnaan agama Islam dan keterjagaan al-Qur’an dari masa ke masa. Sebuah perjuangan yang membutuhkan keikhlasan dan kejujuran. Dengan ikhlas itulah amal yang sederhana pun berubah menjadi tabungan pahala yang berlipat-ganda…
Sebagian ulama berkata, “Orang yang berakal adalah orang yang mengenali jati dirinya -yang penuh dengan kekurangan- dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang yang tidak mengenali seluk-beluk keadaan dirinya.” Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya dosa-dosa itu menimbulkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk/belajar bersamaku.”
Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk merasakan nikmatnya menimba ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya Allah Mahamendengar Mahadekat lagi Mahamengabulkan doa-doa. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin…
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com