Mukadimah Kitab Tauhid (bagian 2)

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini Allah kembali beri kemudahan bagi kita untuk melanjutkan pembahasan seputar faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Beliau berkata :

وقوله: {وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً} 

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Di dalam ayat ini terkandung penjelasan makna tauhid; bahwa tauhid adalah menujukan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala bentuk syirik kepada-Nya; apakah itu syirik kecil maupun syirik besar.

Syirik adalah memalingkan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah. Adapun syirik kecil adalah segala sarana yang mengantarkan menuju syirik besar, atau segala ucapan dan perbuatan yang disebut sebagai syirik tetapi tidak mencapai tingkatan mengeluarkan dari agama.

Ayat ini juga mengandung pelajaran bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Apa pun atau siapa pun dia selain Allah; maka tidak boleh disembah; apakah itu nabi, wali, orang salih apalagi batu, pohon dan kuburan. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa tauhid merupakan kewajiban terbesar sedangkan syirik adalah keharaman yang paling berat.

Beliau berkata :

وقوله: {قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah akan aku bacakan kepada kalian apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian kepada kalian; yaitu janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, dan kepada kedua orang tua hendaklah berbuat baik…” (al-An’am : 151-153)

Ayat ini mengandung penegasan bahwa syirik merupakan bentuk kedurhakaan kepada Allah yang paling berat, oleh sebab itu Allah menyebutkannya di awal pertama kali sebelum yang lainnya. Yang dimaksud tidak boleh berbuat syirik di sini adalah terkandung di dalamnya perintah untuk beribadah kepada Allah. Para ulama kita menjelaskan bahwa ibadah tidaklah dikatakan sebagai ibadah yang benar kecuali apabila disertai dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri ibadah maka ibadah itu menjadi hancur atau sia-sia sebagaimana halnya apabila thaharah tertimpa dengan hadats.

Beliau berkata :

قال ابن مسعود: “من أراد أن ينظر إلى وصية محمد صلى الله عليه وسلم التي عليها خاتمه فليقرأ قوله تعالى: {قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً} ٢ – إلى قوله {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً} الآية

Ibnu Mas’ud berkata : Barangsiapa yang ingin memperhatikan wasiat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di atasnya stempel resmi dari beliau hendaklah dia membaca firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah aku bacakan apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian atas kalian; janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun…” sampai firman-Nya, “Dan sesungguhnya yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus…” (HR. Tirmidzi dan beliau menyatakan hasan)

Atsar atau riwayat ini menunjukkan betapa pentingnya kandungan ayat-ayat di dalam surat al-An’am 151 sampai 153 karena di dalamnya terkandung wasiat-wasiat Allah. Dari seluruh wasiat yang ada maka yang pertama kali dan paling pokok adalah larangan berbuat syirik. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan wasiat terpenting dari Allah dan rasul-Nya kepada segenap manusia.

Bersambung insya Allah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *