[1] Apa Yang Dimaksud Dengan Ilmu?
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat ilmu itu adalah mengetahui petunjuk dengan dalilnya. Apabila disebutkan kata ‘ilmu’ -dalam pembicaraan para ulama atau dalil agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar’i (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)
[2] Kaitan Ilmu Dengan Amalan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, bahwa amal sesungguhnya adalah buah dari ilmu. Orang yang melakukan amal tanpa ilmu itu artinya dia telah menyerupai kaum Nasrani. Adapun orang yang berilmu namun tidak mau beramal itu artinya dia telah menyerupai kaum Yahudi (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 22)
[3] Keutamaan Ahli Ilmu
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (QS. Az-Zumar: 9). Berdasarkan ayat ini Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa di sinilah letak keutamaan ilmu, tatkala Allah menafikan kesamaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, sebagaimana Allah menafikan kesamaan antara penghuni surga dengan penghuni neraka [baca QS. Al-Hasyr: 20] (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/221])
[4] Celaan Atas Kebodohan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan dari Rabbmu adalah kebenaran sama sebagaimana orang yang buta?” (QS. Ar-Ra’d: 19). Di dalam ayat ini, Allah memposisikan orang yang bodoh seperti halnya orang yang buta dan tidak bisa melihat (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/221-222])
[5] Dengan Ilmu Akan Tampak Kebenaran
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang diberikan ilmu itu melihat bahwasanya apa yang diturunkan dari Rabbmu kepadamu itulah kebenaran.” (QS. Saba’: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang berilmu itulah yang bisa melihat kebenaran yaitu pada apa-apa yang diturunkan Allah, dan ini sekaligus menjadi sebuah sanjungan dan pujian bagi orang-orang yang dikaruniai ilmu oleh Allah (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/222])
[6] Kebutuhan Terhadap Ilmu
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah -wahai Muhammad-; wahai Rabbku, tambahkan kepadaku ilmu.” (QS. Thaha: 114). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu, dan ini tentu saja menunjukkan betapa besar keutamaan dan kemuliaan ilmu (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/223-224])
[7] Tanda Ilmu Yang Sejati
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai tanda keilmuan, dan ightirar/terpedaya karena curahan nikmat Allah sebagai bukti kebodohan.” Bahkan, Allah ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28) (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/225])
[8] Ilmu Anugerah Dari Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Dengan anugerah dari Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan sebab itu mereka bergembira. Karena sesungguhnya hal itu jauh lebih baik daripada apa-apa yang mereka kumpulkan/dunia.” (QS. Yunus: 58).
Para ulama menafsirkan ‘anugerah Allah’ di dalam ayat di atas dengan iman, sedangkan rahmat-Nya adalah al-Qur’an, sementara iman dan al-Qur’an itu merupakan ilmu yang bermanfaat dan amal yang salih. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa ilmu itu merupakan anugerah yang Allah berikan kepada mereka (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/227] dengan sedikit perubahan dan peringkasan)
[9] Ilmu Sebab Hidupnya Hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang telah mati [hatinya] lalu Kami hidupkan kembali dan Kami jadikan baginya cahaya yang bisa membuatnya berjalan di tengah-tengah manusia seperti keadaan orang yang sama dengannya yang masih berada di dalam kegelapan-kegelapan dan tidak keluar darinya.” (QS. Al-An’am: 122)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah orang yang dahulunya mati hatinya karena kebodohan lantas Allah hidupkan kembali dengan ilmu, kemudian Allah berikan cahaya iman kepadanya sehingga ia bisa berjalan di tengah-tengah umat manusia (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/232])
[10] Kaitan Antara Ilmu, Iman, dan Amal
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kesempurnaan pribadi seseorang akan bisa terwujud dengan menyempurnakan dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan amalan. Menyempurnakan kekuatan ilmu adalah dengan keimanan, sedangkan menyempurnakan kekuatan amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya, dengan ilmu, iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian kesempurnaan individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan secara sosial, yaitu dengan mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya, dan menasihati dalam hal kesabaran untuk berilmu dan beramal (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/239])
[11] Ilmu Senjata Untuk Berjihad
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa jihad itu ada dua macam; jihad dengan tangan dan pedang, dan jihad dengan hujjah/dalil dan keterangan/ilmu. Jenis jihad yang pertama bisa dilakukan oleh banyak kalangan. Adapun jihad yang kedua hanya bisa ditegakkan oleh orang-orang khusus diantara pengikut rasul; inilah jihadnya pada imam/ulama dan seutama-utama jihad diantara keduanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan berjihadlah melawan mereka dengan hal itu, sebagai suatu jihad yang agung.” (QS. Al-Furqan: 52). Ayat ini turun di Mekah, oleh sebab itu para ulama menafsirkan ‘berjihad dengan hal itu’ di dalam ayat ini maknanya ‘berjihad dengan al-Qur’an’. Inilah bentuk jihad terhadap orang kafir dan juga kaum munafikin. Dan sebagaimana telah dimaklumi bahwa berjihad melawan kaum munafik adalah dengan hujjah dan al-Qur’an. Demikian keterangan beliau secara ringkas (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/271])
[12] Ilmu Pilar Penegak Keimanan
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa iman memiliki dua rukun; pertama, mengetahui ajaran yang dibawa oleh rasul dan memiliki ilmu tentangnya dan yang kedua adalah membenarkan hal itu dengan ucapan dan amalan. Pembenaran tanpa ilmu dan pemahaman jelas sesuatu yang mustahil. Sebab membenarkan adalah bagian dari konsekuensi pemahaman terhadap sesuatu. Oleh sebab itu kedudukan ilmu bagi iman laksana ruh di dalam jasad. Pohon keimanan tidaklah akan tegak tanpa pokok ilmu dan pemahaman (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/299])
[13] Ilmu Pemimpin Atas Amal
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa ilmu adalah pemimpin atas amal dan pengendali atasnya. Adapun amal adalah pengikutnya. Setiap amal yang tidak berjalan mengikuti ilmu tidak akan memberikan manfaat bagi pelakunya. Bahkan amal semacam itu justru membahayakan dirinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/302-303])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2). Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang terbaik amalnya maksudnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar/sesuai dengan tuntunan. Padahal, tidak mungkin seorang memadukan kedua sifat ini -yaitu ikhlas dan mengikuti tuntunan- apabila tidak dilandasi dengan ilmu. Sebab ilmu adalah petunjuk menuju ikhlas dan petunjuk agar bisa sesuai dengan tuntunan (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/303])
[14] Pokok Segala Ilmu
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kemuliaan suatu ilmu bergantung pada kemuliaan objek yang dipelajari. Dengan demikian, tidaklah diragukan bahwa ilmu tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya merupakan ilmu yang paling utama dan paling mulia. Inilah pokok dan sumber segala ilmu. Barangsiapa yang mengenal Allah niscaya dia akan mengenali apa-apa selain-Nya. Barangsiapa yang bodoh/tidak mengenali Rabbnya maka tentu terhadap apa-apa selain-Nya dia jauh lebih tidak mengerti/bodoh (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/311-312])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19). Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah [baca: tidak paham tauhid] adalah sumber kehancuran dirinya (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/312]). Walllahul musta’aan.