Cabut Gigi
[21] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum cabut gigi bagi orang yang sedang puasa; apakah hal itu membatalkan puasa?” Beliau menjawab, “Darah yang keluar karena cabut gigi atau yang semacamnya tidak membatalkan, sebab ia tidak memberikan pengaruh sebagaimana halnya bekam. Oleh sebab itu ia tidak menyebabkan batalnya puasa.” (lihat Fatawa Arkan al-Islam, hal. 477)
Mencicipi Masakan
[22] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah puasa menjadi batal dengan mencicipi makanan?” Beliau menjawab, “Puasa tidak menjadi batal karena mencicipi makanan selama dia tidak menelannya. Meskipun demikian, hendaknya anda tidak melakukannya kecuali memang ada kebutuhan untuk melakukan itu. Dalam kondisi seperti ini jika ada sesuatu yang masuk ke dalam perutmu tanpa sengaja maka puasamu tidak batal.” (lihat Fatawa Arkan al-Islam, hal. 484)
Perempuan Sholat Berdua Dengan Lelaki
[23] Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apabila seorang perempuan melakukan sholat bersama seorang lelaki; apakah dia sholat di belakangnya ataukah sebaiknya dia sholat sendirian saja?” Beliau menjawab, “Yang lebih utama adalah dia sholat bermakmum di belakangnya.” (lihat Su’alaat Ibni Wahf, hal. 125)
Orang Gila dan Orang Yang Pingsan
[24] Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah orang yang gila wajib mengqadha’ puasa -yang ditinggalkannya jika dia sembuh, pent- demikian pula orang yang pingsan/tidak sadar?” Beliau menjawab, “Orang gila -setelah sembuh- tidak perlu mengqadha’, sedangkan orang yang pingsan harus mengqadha’.” (lihat Su’alaat Ibni Wahf, hal. 139)
Istirahat Di Masjid Sambil I’tikaf
[25] Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah orang yang bermaksud untuk istirahat di masjid lalu dia juga berniat untuk ber i’tikaf selama satu jam di sana, apakah hal ini diperbolehkan?” Beliau menjawab, “Kami tidak mengetahui adanya perkara yang menghalangi/mencegahnya untuk itu.” (lihat Su’alaat Ibni Wahf, hal. 141-142)
Sarana Dakwah Tauqifiyah atau Ijtihadiyah?
[26] Syaikh Muqbil rahimahullah pernah ditanya, “Apakah sarana dakwah itu bersifat tauqifiyah yaitu hanya bersandar pada al-Kitab dan as-Sunnah ataukah ijtihadiyah?” Beliau menjawab, “Adapun dakwah itu sendiri, yang tampak bagiku ia adalah tauqifiyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (QS. An-Nahl: 125). Allah juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas bashirah.” (QS. Yusuf: 108). Adapun sarana/wasilah maka tidak masalah/bebas selama tidak bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Apabila ia bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah ia tergolong perkara thaghutiyah/menyeret kepada perbuatan syirik.” (lihat Majmu’ Fatawa al-Wadi’i, Jilid 1 hal. 34)
Hukum Tanzhim Dalam Dakwah
[27] Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum menggunakan tanzhim (pengaturan/sistem keorganisasian, pent) dalam hal dakwah ila Allah ‘azza wa jalla?” Beliau menjawab, “Tanzhim yang tidak menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah adalah perkara yang dituntut (oleh syari’at, pent), dan memang tanzhim sangat diperlukan. Akan tetapi yang disayangkan adalah ada sebagian orang yang menyalahgunakan tanzhim demi kepentingan hizbiyah (fanatisme kelompok, pent). Adapun tanzhim yang sesuai dengan batasan-batasan al-Kitab dan as-Sunnah adalah sesuatu yang memang dibutuhkan.” (lihat Majmu’ Fatawa al-Wadi’i Jilid 1 Halaman 75)
Membawa Mushaf Ke Dalam Kamar Kecil
[28] Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum membawa mushaf ke dalam kamar mandi/wc?” Beliau menjawab, “Hal itu tidak boleh. Karena mushaf itu memiliki kemuliaan dan sudah semestinya diagungkan, sehingga tidak layak apabila ia dibawa masuk ke dalam tempat semacam ini.” (lihat al-Fatawa asy-Syamaliyah, hal. 10)
Konsep Dakwah Salafiyah
[29] Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Apakah mafhum (konsep atau pengertian, pent) dakwah salafiyah menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah?” Beliau menjawab, “Konsep dakwah salafiyah adalah berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh salafus shalih.” (lihat Majmu’ Fatawa al-Wadi’i Jilid 1 Halaman 33-34)
Berjihad Dengan Berbakti Kepada Orang Tua
[30] Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan: Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ikut berjihad. Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. Dia menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Kalau begitu berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 39)