Mengetahui Imam Dalam Keadaan Berhadats
[11] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apabila sebagian makmum mengetahui bahwa imam dalam keadaan berhadats, apakah hal itu menyebabkan batalnya sholat para jama’ah yang lain?” Beliau menjawab, “Apabila sebagian makmum mengetahui -dengan pasti, pent- bahwa imam dalam keadaan berhadats maka status tidak sah/batal sholat itu hanya berlaku bagi yang mengetahui. Adapun para makmum yang lain yang tidak mengetahui, sholat mereka adalah sah tanpa ragu sedikit pun.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/121])
Sholat Wajib Dengan Bermakmum Kepada Imam Yang Melakukan Sholat Sunnah
[12] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum orang yang menjadi imam bagi orang yang mengerjakan sholat sunnah sementara dia sedang melakukan sholat wajib, demikian pula sebaliknya?” Beliau menjawab, “Sah hukumnya orang yang melakukan sholat wajib menjadi imam bagi orang yang melakukan sholat sunnah. Demikian pula sebaliknya, hal itu menurut pendapat yang benar/kuat. Sebab tidak ada dalil yang melarangnya dan berdasarkan kisah Mu’adz yang mengerjakan sholat bersama kaumnya setelah sebelumnya dia ikut sholat berjama’ah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/121])
Sholat Di Depan Imam
[13] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Bolehkah melakukan sholat di depan imam karena sempitnya masjid?” Beliau menjawab, “Tidak sah melakukan sholat berjama’ah- di depan imam; sama saja apakah masjidnya sempit atau tidak sempit. Walaupun demikian, Syaikh Taqiyuddin [Ibnu Taimiyah] berpendapat bahwa hal itu boleh dilakukan jika berada dalam keadaan yang sangat darurat.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/122)
Sholat Sendirian Di Belakang Shof
[14] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apabila saya mendapati shof depan telah penuh apakah sah hukumnya sholat sendirian di belakang shof?” Beliau menjawab, “Tidak mengapa anda sholat di belakang shof sendirian. Karena dalam keadaan itu anda mendapat udzur. Pendapat ini adalah pendapat yang pertengahan diantara pendapat yang mengatakan bahwa sah sholatnya orang yang berada di belakang shof meskipun tidak ada udzur dengan pendapat yang mengatakan tidak sah meskipun ada udzur sebenarnya. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah harus dirinci terlebih dulu; apabila kamu masih mendapati shof depan ada tempat yang masih bisa dipakai tanpa harus berdesakan dengan orang lain/mengganggu, maka ketika itu anda tidak boleh membuat shof sendiri di belakang. Namun, jika anda telah mendapati shof itu penuh dari segala sisi -kanan dan kiri, pent- maka ini adalah udzur, sehingga buatlah shof -di belakang- walaupun sendirian dan ikutilah imam, wallahu a’lam.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/124)
Menempatkan Anak-Anak Di Shof Belakang
[15] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum menempatkan anak-anak di shof-shof bagian belakang sehingga tidak boleh mereka berada di shof depan?” Beliau menjawab, “Anak-anak kecil [laki-laki] jika mereka telah berada pada shof yang utama/bagian depan, maka menurut pandangan saya hendaknya mereka jangan disuruh pindah ke belakang. Karena mereka telah datang lebih dahulu sehingga berhak untuk menempati tempat itu. Hendaknya mereka dibiarkan di sana dalam rangka memberikan dorongan semangat untuk mereka.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/124)
Mengqoshor Sholat Dalam Keadaan Tidak Berniat Sejak Awal
[16] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apabila sang imam berniat untuk qoshor namun tidak memberitahu kepada makmum tentang hal itu, apakah boleh bagi makmum -sesama musafir, pent- untuk mengqoshor?” Beliau menjawab, “Pendapat yang lebih tepat adalah bahwasanya untuk mengqoshor tidak dipersyaratkan niat. Apabila dia adalah sedang bersafar dan telah meninggalkan bangunan-bangunan di kawasan kota/daerahnya maka dia boleh menqoshor; apakah dia meniatkan qoshor atau tidak meniatkannya. Apabila sang imam meniatkan hal itu sedangkan makmum tidak sempat lalu dia mengqoshor juga, maka hal itu tidak mengapa.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/127)
Meninggalkan Sholat Sunnah Untuk Sholat Jama’ah
[17] Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apabila iqomah sudah dikumandangkan sedangkan ada seorang lelaki yang sedang melakukan sholat sunnah dan tidak tersisa bagian sholatnya kecuali satu raka’at saja; apakah dia harus menyempurnakan atau langsung masuk bergabung untuk sholat jama’ah?” Beliau menjawab, “Apabila iqomah untuk sholat sudah dikumandangkan dan tidak tersisa kecuali tasyahud atau sujud misalnya, maka semestinya dia sempurnakan. Adapun jika selain itu, yang lebih utama baginya adalah segera masuk bergabung bersama jama’ah.” (lihat Su’alaat Ibni Wahf, hal. 101)
Sholat Dengan Pakaian Bergambar Makhluk Bernyawa
[18] Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum sholat dari orang yang mengerjakan sholat sedangkan pakaian yang dikenakannya terdapat gambar-gambar makhluk bernyawa; baik berupa bordiran ataupun hasil cetakan?” Beliau menjawab, “Apabila dia tidak mengetahui, dia tidaklah berdosa. Adapun, apabila dia telah mengetahui (hukumnya, pent) maka sholatnya tetap sah namun menanggung dosa sebagaimana pendapat yang terkuat diantara dua pendapat ulama, semoga Allah merahmati mereka. Meskipun demikian, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwasanya sholat orang itu tidak sah (batal); karena dia telah melakukan sholat dengan mengenakan pakaian yang diharamkan atasnya.” (lihat al-Fatawa asy-Syamaliyah, hal. 13)
Bermakmum Kepada Perokok
[19] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum sholat di belakang perokok?” Beliau menjawab, “Jika kamu mendapatkan imam selain orang itu, maka janganlah kamu sholat di belakangnya. Namun, apabila kamu tidak menemukan kecuali seorang imam yang suka merokok maka kamu tetap wajib untuk sholat di belakangnya. Jangan kamu sholat sendirian. Wallahu a’lam.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah 16/120)
Amal Termasuk Dalam Pilar Keimanan
[20] Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Samahatus Syaikh, sebagian orang ada yang berpendapat bahwa amal bukan termasuk rukun [pilar] keimanan. Menurut mereka, amal adalah bagian penyempurna [iman] saja. Sejauh mana kebenaran pendapat ini?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Dalam masalah amal, ada perinciannya. Sebagian amal ada yang termasuk pokok keimanan, dan sebagian yang lain termasuk penyempurna atasnya. Iman adalah ucapan dan amalan, ia bertambah dan berkurang. Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari ucapan dan amalan. Ia bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Sholat adalah iman. Zakat adalah iman. Puasa adalah iman. Haji adalah iman. Amar ma’ruf dan nahi munkar pun [termasuk] iman. Demikian seterusnya. Meskipun demikian, sebagian diantaranya ada yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya tergolong pelaku maksiat [dan tidak menjadi kafir, pent].
Orang yang tidak menunaikan zakat [misalnya] menjadi termasuk pelaku maksiat dan bukan kafir. Atau orang yang membatalkan puasa Ramadhan tanpa udzur, maka dia pun termasuk pelaku maksiat namun tidak menjadi kafir berdasarkan pendapat yang benar. Atau orang yang menunda-nunda ibadah haji padahal dia mampu, maka dia termasuk pelaku maksiat dan tidak menjadi kafir. Adapun orang yang meninggalkan sholat, maka menurut pendapat yang benar [lebih kuat] dia adalah kafir. Melakukan sujud kepada selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir. Orang yang mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, dia pun dihukumi kafir. Menyembelih untuk -persembahan kepada- selain Allah, pelakunya juga dihukumi kafir. Nas’alullahal ‘afiyah.” (lihat Asbab ats-Tsabat Amama al-Fitan, hal. 35)