Keutamaan Tauhid (bagian 3)

Bismillah.

Alhamdulillah kita dipertemukan kembali untuk membahas faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Masih dalam pembahasan keutamaan tauhid.

Beliau berkata :

ولهما في حديث عتبان: “فإن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله، يبتغي بذلك وجه الله”

Dalam riwayat mereka berdua -Bukhari dan Muslim- dalam hadits Itban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka untuk menyiksa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan mengharap wajah Allah.”

Hadits yang agung ini mengandung penjelasan tentang keutamaan kalimat tauhid; bahwa ia menjadi sebab selamatd ari neraka dan masuk ke dalam surga. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud mengucapkan kalimat tauhid di sini adalah ucapan yang disertai dengan amalan. Karena iman itu mencakup ucapan dan amalan. Selain itu juga ia dilandasi dengan keikhlasan dan kejujuran.

Oleh sebab itu kalimat syahadat yang diucapkan oleh orang munafik tidak bisa menyelamatkan mereka dari neraka. Disebabkan mereka tidak melandasinya dengan keikhlasan dan kejujuran. Para ulama menjelaskan bahwa kalimat tauhid ini mengandung dua rukun; nafi dan itsbat. Nafi maksudnya menolak ibadah kepada selain Allah, sedangkan itsbat yaitu menetapkan bahwa ibadah dia tujukan kepada Allah semata.

Yang dimaksud haram masuk neraka ini ada dua macam; pertama, diharamkan sama sekali artinya tidak masuk neraka sejak awal sehingga dia langsung masuk surga; yaitu bagi mereka yang merealisasikan tauhidnya dan mendapatkan ampunan Allah atas dosa-dosanya. Yang kedua adalah diharamkan dari kekalnya siksa neraka; artinya dia sempat masuk neraka sebagai hukuman atas dosa-dosa besarnya yang belum dia taubati kemudian Allah masukkan ke surga karena tauhid dan imannya.

Hal ini menunjukkan bahwa salah satu keutamaan tauhid adalah bisa menghapuskan dosa-dosa dan menjadi sebab ampunan Allah. Yang dimaksud dengan mengucapkan kalimat laa ilaha illallah di sini juga yang disertai dengan kalimat syahadat risalah; wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu; sebagaimana telah ditunjukkan di dalam hadits sebelumnya yang dibawakan oleh penulis dari sahabat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *