Belajar Kaidah Bahasa Arab [4]

Topik pembahasan :

– I’rob dan bina’
– I’rob pada isim
– I’rob pada fi’il
– Tanda dasar i’rob
– Penyebab perubahan
– Mengenal tanda rofa’ pada isim
– Mengenal tanda nashob pada isim
– Mengenal tanda jar pada isim
– Contoh isim marfu’
– Contoh isim manshub
– Contoh isim majrur

Dalam ilmu nahwu kita mengenal istilah i’rob dan bina’. I’rob adalah perubahan keadaan akhir kata dalam bahasa arab yang disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun binaa’ -dengan akhiran hamzah- adalah tetapnya akhir kata walaupun kedudukan/jabatan kata itu berbeda-beda.

Misalnya, kata ‘zaid’ dalam bahasa arab bisa berubah akhirannya dari dhommah menjadi fat-hah atau kasroh sehingga dibaca ‘zaidun’ ‘zaidan’ atau ‘zaidin’. Perubahan akhir kata ini disebut dengan istilah i’rob dan isim yang bisa berubah ini disebut isim yang mu’rob. Berbeda dengan kata ‘huwa’ yang artinya ‘dia 1 laki-laki’ maka kata ini selalu fat-hah akhirannya, tidak bisa berubah menjadi dhommah atau kasroh. Inilah yang disebut dengan istilah binaa’. Isim yang akhirannya selalu tetap ini dinamakan dengan istilah isim yang mabni.

Pada isim (kata benda) ada tiga macam i’rob; rofa’, nashob, dan jar. Adapun pada fi’il juga ada tiga -namun sedikit berbeda- yaitu; rofa’, nashob, dan jazem. Tanda dasar i’rob rofa’ ialah diakhiri dengan harokat dhommah. Tanda dasar i’rob nashob adalah diakhiri dengan fat-hah. Tanda dasar i’rob jar adalah diakhiri dengan kasroh. Adapun tanda dasar i’rob jazem ialah diakhiri sukun.

Perubahan yang terjadi pada akhir kata -dalam bahasa arab ini- bisa terjadi disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor ini disebut dengan istilah ‘aamil. Ia bisa berupa kata sambung (harf) yang mendahului kata tersebut, bisa juga berupa fi’il (kata kerja), atau bisa juga berupa isim (kata benda) sebelumnya, atau bisa juga karena perbedaan kedudukan atau jabatan kata di dalam kalimat. Misalnya, apabila suatu kata menempati posisi sebagai subjek/fa’il ia harus dibaca dengan i’rob rofa’ (diakhiri dhommah). Berbeda jika ia menempati posisi objek/maf’ul bih, maka ia harus dibaca dalam keadaan nashob (berakhiran fat-hah).

Kalimat yang berbunyi ‘dzahaba zaidun’ misalnya. Kata ‘zaid’ dibaca dengan akhiran dhommah atau rofa’ karena ia menjadi pelaku/subjek dari fi’il dzahaba ‘telah pergi’. Dalam kaidah nahwu pelaku atau fa’il harus dibaca rofa’. Berbeda jika kita ubah kalimatnya menjadi ‘ro’aitu zaidan’ artinya ‘aku melihat zaid’. Di dalam kalimat kedua ini kata ‘zaid’ diakhiri fat-hah atau nashob karena ia menempati posisi sebagai objek/maf’ul bih. Dalam kaidah nahwu maf’ul bih harus dibaca dalam keadaan nashob. Masih ada sebab-sebab lainnya insya Allah ada penjelasan secara khusus.

Kemudian, perlu juga diketahui bahwasanya tanda-tanda i’rob tidak terbatas hanya empat tanda dasar di atas. Masih ada tanda-tanda i’rob lainnya. Tanda-tanda ini secara umum bisa dibagi menjadi dua -pada isim- yaitu ada yang tandanya berupa harokat dan ada yang berupa huruf. Misalnya, pada isim mufrod -kata benda tunggal- ia dirofa’ dengan tanda dhommah. Seperti kata ‘baitun’ artinya ‘sebuah rumah’; ini adalah contoh isim mufrod/kata benda tunggal yang i’robnya rofa’.

Tanda i’rob rofa’ juga ada yang berupa huruf. Misalnya pada isim mutsanna -yang menunjukkan dua- seperti kata yang berbunyi ‘baitaani’ yang artinya ‘dua buah rumah’. Kata ini termasuk isim mutsanna dan tanda rofa’-nya adalah dengan huruf alif yang ada sebelum huruf nun. Apabila ia berubah menjadi nashob atau jar maka ia tidak lagi berbunyi ‘baitaani’ tetapi menjadi ‘baitaini’ dengan huruf ya’ sebelum nun. Hal ini menunjukkan bahwa untuk isim mutsanna tanda i’robnya adalah berupa huruf, bukan harokat.

Tanda nashob pada isim juga demikian. Ada yang berupa harokat dan ada yang berupa huruf. Misalnya pada kata ‘baitan’ artinya ‘sebuah rumah’ dengan akhiran fat-hah. Kata ini berada dalam keadaan nashob dengan tanda fat-hah di akhir kata. Tetapi jika ia diubah menjadi bentuk mutsanna -ganda- tanda nashobnya juga berubah. Dalam bentuk mutsanna; kata ‘bait’ diubah menjadi ‘baitaani’ atau ‘baitaini’ artinya ‘dua buah rumah’. Kedua kata ini sama artinya tetapi keadaannya berbeda; jika diakhiri dengan ‘aani’ -dengan huruf alif sebelum nun- itu artinya ia dalam keadaan rofa’. Tanda rofa’nya adalah huruf alif. Dan apabila ia dibaca dengan akhiran ‘aini’ -dengan huruf ya’ sebelum nun- itu artinya ia berada dalam keadaan i’rob nashob atau jar.

Begitu pula tanda jar pada isim. Ada yang berupa harokat dan ada yang berupa huruf. Untuk tanda jar yang dasar yaitu diakhiri dengan kasroh. Misalnya kata ‘baitin’ artinya ‘sebuah rumah’ adalah dalam keadaan jar dengan tanda kasroh di akhir. Berbeda jika diubah menjadi bentuk mutsanna/ganda maka tanda jarnya berubah menjadi ya’. Dalam bentuk mutsanna kata ‘bait’ -sebuah rumah- diubah menjadi ‘baitaini’ -dalam keadaan jar atau nashob-. Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa untuk isim mutsanna tanda jarnya bukanlah kasroh tetapi ya’. Berarti tanda jar-nya isim mutsanna sama dengan tanda nashob-nya; yaitu sama-sama berupa huruf ya’.

Isim yang berada dalam keadaan rofa’ disebut marfu’. Contohnya dalam kalimat yang berbunyi ‘dzahaba zaidun’ (artinya; telah pergi zaid) . Kata ‘zaidun’ ini adalah marfu’, tandanya ia diakhiri dengan dhommah. Isim yang berada dalam keadaan nashob disebut manshub. Contohnya dalam kalimat yang berbunyi ‘ro’aitu zaidan’ (artinya; aku melihat zaid). Kata ‘zaidan’ ini adalah manshub, tandanya ia diakhiri dengan fat-hah. Isim yang berada dalam keadaan jar disebut majrur. Contohnya dalam kalimat yang berbunyi ‘marortu bizaidin’ (artinya; aku lewat di dekat zaid). Kata ‘zaidin’ ini adalah majrur, tandanya ia diakhiri dengan kasroh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *