Bismillah.

Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar dalam menjelaskan perkara tauhid. Hal ini merupakan kewajiban mereka sebagai penerus dakwah para rasul ‘alaihimus salam.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Setiap perintah beribadah kepada Allah maka di dalamnya terkandung kewajiban bertauhid, sebagaimana tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma. Hakikat tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dengan kata lain tauhid adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik. Oleh sebab itu para ulama menafsirkan bahwa thaghut adalah segala bentuk sesembahan selain Allah, sebagaimana tafsiran Imam Malik rahimahullah.

Tauhid inilah yang menjadi sebab utama untuk mendapatkan ampunan Allah dan meraih keamanan di akhirat. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurinya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah yang diberikan petunjuk.” (al-An’am : 82)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa yang lain di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan surga atasnya dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong.” (al-Ma’idah : 72)

Dengan demikian tauhid merupakan bentuk kewajiban terbesar bagi manusia sedangkan syirik adalah kezaliman yang paling berat. Allah menyiapkan surga bagi orang yang beriman dan Allah siapkan neraka bagi mereka yang kufur dan mempersekutukan-Nya. Allah berikan kepada ahli tauhid keamanan dan petunjuk. Adapun orang kafir Allah tidak berikan kepada mereka keamanan dan petunjuk; sehingga mereka kekal di dalam neraka.

Untuk mewujudkan tauhid maka seorang muslim membutuhkan 3 hal; ilmu, keyakinan, dan ketundukan. Tanpa ilmu maka dia akan beribadah kepada Allah di atas kebodohan. Tanpa keyakinan maka dia akan tenggelam dalam keraguan dan kemunafikan yang membuat hatinya dipenuhi dengan penyakit. Tanpa ketundukan maka dia akan hanyut dalam penolakan dan pembangkangan terhadap aturan dan hukum-hukum Allah.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidak pantas bagi seorang lelaki yang beriman dan perempuan yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk ke dalam surga kecuali orang yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku dia masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari)

Dalam beribadah kepada Allah seorang muslim harus memadukan dalam hatinya 3 perkara; rasa takut, cinta dan harapan. Beribadah kepada Allah dengan rasa takut saja maka ini adalah cara kaum Khawarij. Beribadah kepada Allah dengan rasa harap saja adalah jalan kaum Murji’ah. Beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta maka ini adalah kesesatan kaum Zindiq atau sufi ekstrim. Adapun ahli tauhid beribadah kepada Allah dengan ketiga hal ini; cinta, takut dan harapan.

Ibadah kepada Allah -sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim- ditegakkan di atas dua poros; puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Kecintaan kepada Allah akan tumbuh dengan senantiasa melihat dan menyadari begitu banyak nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita. Perendahan diri kepada Allah akan muncul dengan selalu menyadari berbagai bentuk aib pada diri dan amal perbuatan kita, dengan mengingat dosa dan kekurangan kita dalam mengabdi kepada Allah. Oleh sebab itu seorang muslim memadukan dalam dirinya antara berbuat baik dan merasa khawatir akan keadaan dirinya. Sebaliknya orang fajir atau munafik menggabungkan dalam dirinya antara berbuat buruk dengan merasa aman/tidak berdosa dan tidak merasa bersalah.

Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku telah berjumpa dengan 30 orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; dalam keadaan mereka semuanya khawatir kalau-kalau dirinya terjangkiti kemunafikan.” Seorang mukmin beramal dan berusaha menjaga amalnya dari hal-hal yang merusak amalnya. Dia khawatir kalau amalnya itu ditolak oleh Allah. Bukan karena dia berprasangka buruk kepada Allah, tetapi dia bersangka buruk kepada dirinya sendiri.

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; maukah Kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia amal usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya telah berbuat kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *