Bismillah…
Seorang muslim membangun agamanya di atas ilmu dan keyakinan. Dan diantara perkara yang paling pokok untuk dipahami dan diyakini adalah kandungan dari dua kalimat syahadat. Sebab dua kalimat syahadat inilah pondasi tegaknya ajaran agama Islam.
Dua kalimat syahadat itu adalah syahadat/persaksian bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah, dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat yang pertama mengandung keyakinan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Adapun syahadat yang kedua mengandung pedoman bahwa ibadah tidak dikerjakan kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika kaum musyrikin mendengar ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan laa ilaha illallah, maka mereka pun dengan serta merta menolak dan menentangnya. Karena mereka memahami bahwa maksud kalimat ini adalah wajibnya mengesakan Allah dalam beribadah dan keharusan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah menceritakan tanggapan mereka (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- itu hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya hal ini benar-benar perkara yang mengherankan.” (Shad : 5)
Kalimat laa ilaha illallah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata; Rabb yang menciptakan mereka dan menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa’ : 25)
Dengan demikian kalimat tauhid menuntut seorang muslim untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah dan mencampakkan penghambaan kepada selain-Nya. Inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada umat-umat terdahulu dan umat di sepanjang zaman. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5). Para ulama menjelaskan bahwa orang yang hanif artinya berpaling dari selain Allah dan mengabdi hanya kepada Allah.
Ibadah yang benar adalah ibadah yang dipersembahkan kepada Allah semata dan tidak tercampuri dengan ibadah kepada selain-Nya. Inilah syarat diterimanya amalan. Harus bersih dari syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Ibadah adalah hak Allah atas hamba, tidak boleh dan haram hukumnya seorang hamba menujukan ibadahnya kepada selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba itu adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menujukan ibadah -apakah itu sholat, sembelihan, nadzar, istighotsah, dsb- kepada selain Allah adalah dosa yang sangat besar dan tidak diampuni oleh Allah apabila pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat darinya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih mengampuni dosa-dosa yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)
Syirik besar dalam bentuk melakukan ibadah kepada selain Allah -meskipun pelakunya juga beribadah kepada Allah- menyebabkan kekal di neraka dan terhalang masuk surga. Sebab syirik merupakan kezaliman terbesar dan pelecehan kepada Rabb penguasa alam semesta. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa-idah : 72)
Syirik juga menyebabkan semua amal kebaikan yang pernah dilakukan terhapus pahalanya. Sehingga pelakunya hanya akan mendapatkan keletihan tanpa memperoleh buah atas amalnya kelak di akhirat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan terhapus segala amal yang dahulu telah mereka kerjakan.” (al-An’aam : 88)
Oleh sebab itulah syirik merusak iman dan meruntuhkan bangunan agama. Maka wajib bagi seorang muslim untuk menjaga dirinya dari segala bentuk syirik besar maupun kecil. Apabila seorang nabi sekelas Ibrahim ‘alaihis salam saja takut terjerumus dalam syirik, bagaimana lagi dengan kita? Allah berfirman mengisahkan doa beliau (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung…” (Ibrahim : 35)
Para sahabat nabi -generasi terbaik umat ini- yang telah mendapatkan pujian dan rekomendasi dari Allah dan rasul-Nya pun merasa takut dirinya terjerumus dalam kemunafikan dan perusak keimanan; maka bagaimana lagi dengan kita? Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semuanya takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan imannya Jibril dan Mika’il…”
Membersihkan ibadah dan ketaatan dari noda syirik adalah konsekuensi dari kalimat tauhid. Karena yang Allah terima hanyalah amal yang bersih dari syirik. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman (yang artinya), “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia bersama syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Ibadah kepada Allah itu pun tidak dinilai benar kecuali apabila sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan tegas, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah/ajarannya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim). Oleh sebab itu niat baik belaka tidak cukup. Niat yang baik harus diwujudkan dengan cara yang benar yaitu mengikuti tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31). Sesungguhnya kecintaan dibuktikan dengan ketaatan dan kesetiaan. Taat kepada ajaran Rasul dan setia dengan bimbingannya. Sebagaimana yang diingatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Seandainya kalian meninggalkan sunnah/ajaran Nabi kalian pasti kalian tersesat.”
Syahadat Muhammad utusan Allah mengandung konsekuensi membenarkan beritanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at dan ajarannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4). Allah juga berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari perintah/ajarannya (rasul); bahwa mereka akan ditimpa fitnah/malapetaka atau menimpa mereka azab yang sangat pedih.” (an-Nuur : 63)
Dengan demikian seorang muslim akan tunduk kepada aturan Allah dan rasul-Nya. Karena Allah adalah sesembahannya dan nabi adalah panutannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki beriman atau perempuan beriman; apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara ternyata masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya benar-benar dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)
Ini artinya, syahadat harus diyakini di dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan segenap anggota badan. Dan ia harus dijaga dari segala perusak dan pembatal keimanan.